01 September 2012
Cuaca Menggila


Sepertinya cuaca berubah ekstrem akhir-akhir ini. Ada apa sebenarnya?


Namun, pada Sabtu sore, 1 Mei 2010, beberapa bagian kota itu telah tersiram hujan setinggi lebih dari lima belas sentimeter, sementara hujan deras masih saja mengguyur. Wali Kota Karl Dean berada di Pusat Komunikasi Darurat kota itu, memantau laporan awal banjir bandang ketika tayangan di layar TV menarik perhatiannya. Televisi menyiarkan langsung mobil di Jalan Lintas 24 yang ditenggelamkan salah satu cabang Sungai Cumberland di tenggara kota. Bangunan portabel sepanjang 12 meter dari Lighthouse Christian School tampak terapung melewati deretan kendaraan itu.

“Ada gedung yang menabrak mobil,” kata sang penyiar televisi. Dean mengatakan, “menjadi sangat jelas bagi saya betapa ekstrem situasi yang kami hadapi.” Tidak lama kemudian panggilan 911 berdatangan dari seluruh penjuru kota. Polisi, pemadam kebakaran, dan tim penyelamat dikirim dengan perahu. Tim lain mengungsikan keluarga dari atap dan pekerja dari gudang yang kebanjiran. Namun, 11 orang tewas di kota itu pada akhir pekan tersebut.

Ini hurikan jenis baru bagi Nashville. “Hujannya lebih lebat daripada yang pernah saya lihat di sini,” kata Brad Paisley, penyanyi country, yang memiliki peternakan di luar kota. “Biasanya kan saat kita berada di mal dan hujan mengguyur sangat deras, kita berpikir tunggu lima menit, dan setelah agak reda kita lari ke mobil? Nah, bayangkan bahwa hujan itu tidak mereda sampai keesokan harinya.”

Di sebuah stasiun CBS lokal, ahli meteorologi Charlie Neese dapat melihat asal cuaca itu. Arus jet berhenti di atas kota, dan hurikan demi hurikan menyedot udara lembap dan hangat dari Teluk Meksiko, menderu sekitar seribu kilometer ke timur laut, lalu menumpahkan airnya di Nashville. Sementara Neese dan rekan-rekannya melakukan siaran dari studio di lantai dua, ruang berita di lantai pertama dibanjiri air dari selokan yang meluap. “Air muncrat dari toilet,” kata Neese.

Sungai Cumberland, yang berkelok di tengah Nashville, mulai naik permukaannya Sabtu pagi. Di Ingram Barge Company, David Edgin memiliki lebih dari tujuh kapal dan 70 tongkang di sungai itu. Karena hujan terus mengguyur, dia menelepon Korps Zeni AS untuk mengetahui perkiraan kenaikan maksimum permukaan sungai. “Hujan ini membuat model kami tidak valid,” kata petugas jaga. “Kami belum pernah mengalami yang seperti ini.”

Pada Sabtu malam permukaan Sungai Cumber­land naik sekurangnya 4 meter, menjadi 10 meter, dan korps zeni memperkirakan dapat mencapai 13 meter. Namun, hujan tidak berhenti hari Minggu, dan permukaan sungai baru mencapai puncak ketinggiannya hari Senin—pada 16 meter, membuat banjir hampir setinggi 4 meter. Banjir yang merendam jalan-jalan pusat kota itu menyebabkan kerugian sekitar 18 triliun rupiah.

Ketika matahari terbit pada Senin pagi, be­berapa tempat di Nashville telah diguyur hujan lebih dari 34 sentimeter—sekitar dua kali rekor sebelumnya setinggi 16,75 sentimeter. Pete Fisher, manajer Grand Ole Opry, harus berperahu untuk masuk ke teater terkenal itu, yang terletak di tepi sungai di timur laut kota itu. Dia dan teknisi audio Tommy Hensley men­dayung dan masuk melalui pintu samping. “Dapat dikatakan kami mengapung ke teater,” kata Fisher. “Di dalam gelap gulita, lalu kami menyinari panggung. Jika duduk di barisan depan, kita akan tenggelam sedalam dua meter di bawah permukaan.”



Di gudang sepanjang sungai, banjir me­rendam peralatan bernilai miliaran rupiah untuk tur konser Brad Paisley mendatang, yang rencananya akan dimulai kurang dari tiga minggu lagi. “Semua ampli, semua gitar yang biasa saya gunakan, hancur,” kata Paisley. “Saya belum pernah merasa setidak berdaya ini menghadapi cuaca.”
Pengalaman itu mengubah dirinya. “Cuaca di Nashville biasanya masih bisa diajak damai,” katanya. “Namun, sejak banjir itu, saya tidak lagi berasumsi bahwa semuanya pasti normal.”

KEJADIAN EKSTREM seperti banjir Nashville—digambarkan para pejabat sebagai kejadian sekali dalam seribu tahun—lebih sering terjadi daripada biasanya. Sebulan sebelum Nashville, hujan deras menumpahkan 28 sentimeter air ke Rio de Janeiro selama 24 jam, memicu tanah longsor yang mengubur ratusan korban. Sekitar tiga bulan setelah Nashville, curah hujan tertinggi di Pakistan menyebabkan banjir yang berdampak pada lebih dari 20 juta orang. Pada akhir 2011 banjir di Thailand merendam ratusan pabrik di dekat Bangkok, mengakibatkan kekurangan pasokan hard drive komputer di seluruh dunia.

Bukan hanya hujan deras yang menjadi berita utama. Selama dasawarsa terakhir kita juga menyaksikan kekeringan yang parah di tempat-tempat seperti Texas, Australia, dan Rusia, serta di Afrika Timur, tempat puluhan ribu orang berlindung ke kamp pengungsian. Gelombang panas nan mematikan menghantam Eropa, sementara tornado yang jumlahnya mencetak rekor meluluhlantakkan banyak tempat di AS. Hal tersebut menaikkan beban bencana cuaca tahun 2011 di seluruh dunia menjadi sekitar 1.400 triliun rupiah, melonjak sekitar 25 persen dari tahun sebelumnya.

Ada apa sebenarnya? Apakah kejadian eks­trem ini merupakan bukti perubahan iklim bumi yang berbahaya akibat perbuatan manusia? Atau apakah kita hanya sedang me­ngalami nasib buruk yang alami? Jawaban singkatnya: mungkin keduanya.

Penyebab utama yang menimbulkan bencana belakangan ini adalah siklus iklim alami, khusus­nya El Niño dan La Niña. Dua siklus aneh di Pasifik khatulistiwa itu berpengaruh ter­hadap cuaca di seluruh dunia. Selama ber­langsungnya El Niño, kumpulan raksasa air hangat yang biasanya berada di Pasifik tengah bergerak ke timur sampai ke Amerika Selatan; saat berlangsungnya La Niña, air hangat ini menyusut dan kembali ke Pasifik barat.

Panas dan uap air yang berasal dari kolam hangat itu menghasilkan hurikan yang begitu kuat, sehingga pengaruhnya meluas dari daerah tropis hingga ke arus jet yang bertiup di lintang tengah. Saat kolam hangat itu maju mundur sepanjang Khatulistiwa, jalur berkelok arus jet bergeser ke utara dan ke selatan—yang mengubah lintasan hurikan di semua benua itu.

El Niño cenderung menyebabkan hujan hurikan di Amerika Serikat bagian selatan dan Peru sementara membawa kekeringan dan kebakaran di Australia. Selama La Niña, hujan membanjiri Australia dan tidak turun di Amerika barat daya dan Texas—serta di tempat yang lebih jauh seperti Afrika Timur.

Atmosfer dan lautan merupakan fluida kom­pleks, sementara siklus lainnya juga ber­pengaruh pada waktu dan tempat tertentu. Namun, Pasifik tropis sangat berpengaruh, karena memberikan begitu banyak panas dan uap air ke atmosfer. Dengan demikian, El Niño atau La Niña yang ekstrem menciptakan kondisi untuk kejadian ekstrem di tempat lain.

Namun, siklus alam saja tidak dapat men­jelaskan rekor bencana yang beruntun akhir-akhir ini. Bumi terus bertambah panas, se­mentara kelembapan atmosfer meningkat se­cara signifikan. Pengamatan puluhan tahun menunjukkan bahwa penumpukan gas rumah kaca dalam jangka panjang di atmosfer memerangkap panas dan menghangatkan tanah, lautan, dan atmosfer. Meskipun beberapa tempat, khususnya Kutub Utara, memanas lebih cepat daripada yang lain, suhu permukaan rata-rata di seluruh dunia meningkat setengah derajat celsius dalam empat dasawarsa terakhir. Tahun 2010 suhu rata-rata mencapai 14,51° C, sama dengan rekor yang tercipta tahun 2005.

Saat lautan menghangat, makin banyak air yang menguap ke udara. “Semua orang tahu bahwa jika kita membesarkan api kompor, air di panci akan menguap lebih cepat,” kata Jay Gulledge, ilmuwan senior di Pusat Solusi Iklim dan Energi (C2ES), sebuah lembaga penelitian di Arlington, Virginia. Selama 25 tahun terakhir, satelit mengukur kenaikan rata-rata empat persen uap air di udara. Semakin banyak uap air, semakin besar potensi curah hujan yang deras.

Pada akhir abad ini suhu rata-rata dunia bisa naik antara 1,5-4,5 derajat celsius—sebagian ter­gantung pada seberapa banyak karbon yang kita lepaskan antara sekarang sampai saat itu. Para ilmuwan memperkirakan cuaca akan sangat berubah. Pola sirkulasi dasar akan bergeser ke arah kutub, sama seperti yang dilakukan tanaman dan hewan saat lari dari (atau memanfaatkan) panas yang meluas.

Sabuk hujan tropis semakin melebar. Zona kering subtropis bergeser ke arah kutub, ke daerah seperti Amerika barat daya, Australia selatan, dan Eropa selatan, membuat daerah ini semakin rentan terhadap kekeringan yang panjang dan parah. Di luar subtropis, di lintang tengah, termasuk 48 negara bagian Amerika Serikat di selatan Alaska, lintasan hurikan juga pindah ke arah kutub—tren jangka panjang yang dipengaruhi oleh fluktuasi tahunan yang dipicu oleh La Niña atau El Nino.

Salah satu unsur tak terduga masa depan cuaca kita adalah Samudra Arktika, yang kehilangan 40 persen es-laut musim panasnya sejak tahun 1980-an. Suhu musim gugur di daerah yang sekarang menjadi laut terbuka ini meningkat 2-5°C, karena air yang gelap kini menyerap sinar matahari yang dulu dipantulkan kembali oleh es ke ruang angkasa. Bukti baru menunjukkan bahwa pemanasan mengubah arus jet kutub, menambahkan kelokan utara-selatan ke lintasannya saat mengitari bumi. Ini mungkin membantu menjelaskan mengapa pada musim dingin lalu Amerika Utara begitu hangat dan Eropa begitu dingin.

Saat berkelok lebih ke utara dari normalnya hingga sampai Kanada, arus jet membawa udara hangat; saat membelok jauh ke selatan ke Eropa, arus ini mendatangkan angin dingin dan salju ke wilayah itu. Pada musim dingin 2010-11 Amerika Utara bagian timurlah yang mendapat salju tebal. Karena lintasannya bergeser setiap tahun, cuaca ekstrem juga mungkin berubah.


Soal efek pemanasan global terhadap tiap-tiap hurikan, para ilmuwan lebih tidak bisa me­mastikan. Teorinya, tambahan uap air di at­mosfer seharusnya memasok tambahan panas ke hurikan dan topan besar, meningkatkan daya apung yang membuatnya semakin besar dan dahsyat. Beberapa model meramalkan bahwa pemanasan global dapat meningkatkan kekuatan rata-rata hurikan dan topan antara 2-11 persen pada 2100. Namun, belum ada kepastian apakah peningkatan ini sudah terjadi. Dan model yang memprediksi terjadinya hurikan yang lebih besar juga menyatakan jumlahnya mungkin akan berkurang di masa depan.

Hal yang paling tidak pasti adalah prediksi tornado. Atmosfer yang lebih panas dan lem­bap dapat menyebabkan hujan petir yang le­bih dahsyat, tetapi juga bisa mengurangi ge­seran angin yang diperlukan hurikan untuk me­­nimbulkan angin puyuh. Jumlah tornado yang dilaporkan di AS semakin banyak, te­tapi memang kian banyak pula orang yang men­carinya dengan instrumen yang kian canggih—dan tidak ada peningkatan jumlah tornado dahsyat yang terdokumentasi dalam setengah abad terakhir.

Akan tetapi, dalam kasus beberapa cuaca ekstrem, hubungannya terlihat jelas. Semakin hangat atmosfer, semakin mungkin pula tercipta rekor baru gelombang panas. Di seluruh dunia, 19 negara mencatat rekor nasional pada 2010.
Dengan bertambahnya uap air di atmosfer, curah hujan juga meningkat. Jumlah air ter­curah dalam hujan yang sangat lebat—satu persen hujan yang terderas—meningkat hampir 20 persen selama abad yang lalu di AS. “Sekarang setiap hurikan mencurahkan air lebih banyak daripada 30 atau 40 tahun lalu,” kata Gerald Meehl, ilmuwan senior di National Center for Atmospheric Research. Pemanasan global, katanya, telah mengubah peluang terjadinya cuaca ekstrem.

“Bayangkan ada pemain bisbol yang memakai steroid,” Meehl melanjutkan. “Pemain bisbol ini masuk ke home plate dan mencetak home run. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa dia mencetak home run karena memakai steroid, atau bahwa sebenarnya dia bisa melakukannya tanpa steroid. Obat itu hanya memperbesar kemungkinan.” Demikian pula dengan cuaca, ujar Meehl. Gas rumah kaca adalah steroid bagi sistem iklim. “Dengan menambahkan sedikit saja karbon dioksida ke iklim, iklim akan menjadi sedikit lebih hangat dan memperbesar peluang terjadinya peristiwa yang lebih ekstrem,” katanya. “Yang dulu langka terjadi kini menjadi tidak begitu langka.”

AKHIR-AKHIR INI PENDUDUK TEXAS yang paling banyak mengalami cuaca bersteroid. 1.049 penduduk Robert Lee, kota di Texas Barat yang dihuni peternak, pekerja perminyakan, pen­siunan, dan pengusaha kecil mengalami ke­keringan hampir sepanjang 2011. Waduk E. V. Spence, seperti banyak danau di kawasan itu, kehilangan lebih dari 99 persen airnya.

“Jika sungai tidak segera mengalir, tidak akan ada lagi air yang keluar dari keran kami,” kata Wali Kota John Jacobs musim dingin lalu. “Benar-benar kering. Keadaannya semakin serius.” Pada Januari, kota itu mulai membangun pipa sepanjang 19 kilometer ke Bronte, sebuah komunitas yang selain memiliki waduk juga mem­punyai sumur.
Curah hujan di Texas dari Oktober 2010 sampai September 2011 lebih sedikit daripada periode 12 bulan lainnya sejak pencatatan di­mulai tahun 1895. Di seantero wilayah itu, pe­tani, peternak, dan penduduknya merasakan kesulitannya. “Banyak sumur yang mengering,” kata Clark Abel, penggali sumur bor di San Angelo. “Telepon kami tidak berhenti berdering. Luar biasa parah.”

Kemarau ini juga mengeringkan lahan peng­gembalaan, memaksa beberapa peternakan me­ngirimkan kawanan ternak mereka ke padang rumput yang lebih hijau di utara. Laksana angon ternak modern, para pekerja Four Sixes Ranch di dekat Guthrie dan dari cabang Dixon Creek di kawasan Panhandle Texas menggiring lebih dari 4.000 sapi peranakan Angus ke truk dua tingkat, lalu mengangkutnya ke lahan-lahan sewaan mulai dari Nebraska hingga Montana utara.

“Belum pernah ada orang yang mengalami hal seperti ini,” kata General Manager Joe Leathers.
“Ini tahun kekeringan terparah yang pernah kami alami,” kata John Nielsen-Gammon, ahli klimatologi negara bagian itu. Selain itu, tahun lalu warga Texas juga mengalami musim panas terpanas sepanjang sejarah. Warga Dallas menyaksikan air raksa di termometernya naik hingga 37,7°C atau lebih selama total 71 hari. Penyebabnya jelas, kata Nielsen-Gammon: La Niña, yang menggeser lintasan hujan ke arah utara AS, mengurangi curah hujan di seluruh kawasan Selatan, mulai dari Arizona hingga North Carolina dan South Carolina. “Kebetulan kami berada tepat di tengahnya,” katanya.


Akan tetapi, pemanasan global memperburuk situasi ini, memperparah gelombang panas yang memang sudah parah. “Dalam kondisi normal, banyak energi matahari yang digunakan untuk menguapkan air dari tanah atau dari tanaman,” jelas Nielsen-Gammon. “Akan tetapi, ketika tidak ada air yang diuapkan, semua energi itu dipakai memanaskan tanah dan akibatnya me­manaskan udara. Mengingat betapa sedikitnya curah hujan yang kami terima, mungkin tanpa perubahan iklim sekalipun tahun 2011 tetap men­jadi tahun terpanas di Texas. Apalagi perubahan iklim menambahkan panas sekitar satu derajat pada keadaan itu.”

Panas tambahan itu seperti siraman bensin pada hutan negara bagian itu: Dengan me­ningkatnya penguapan, hutan menjadi se­makin kering. Tahun 2011, Texas mengalami ke­bakaran hutan terparah dalam sejarah. Se­cara keseluruhan, kebakaran menghanguskan kawasan seluas Provinsi Bangka-Belitung—hampir dua kali luas kebakaran hutan dalam satu tahun terparah sebelumnya.

Salah satu kebakaran dengan kerugian ter­besar berawal September lalu tidak jauh di luar Taman Negara Bastrop, di tenggara Austin, yang pohon Pinus taeda-nya sekering dan se­getas rabuk. Dengan ditiup angin kencang, api menjalar ke selatan melalui lingkungan per­mukiman di pinggir kota, membentuk jalur yang disebut pemadam kebakaran sebagai “jalan” panjang kebakaran. Kebakaran ini meng­­hanguskan 1.685 rumah, tetapi kadang-kadang ada rumah berdekatan yang selamat, me­nyebabkan warga tak habis keheranan.

Ketika Paige dan Ray Shelton kembali untuk memeriksa properti mereka yang ber­batasan dengan hutan negara bagian, mereka me­­nemukan bungalo mereka masih berdiri, te­tapi penggergajian yang dijalankan Ray ber­sama saudaranya, Bo, tinggal abu sementara beng­kel keramik Paige musnah terbakar. Saat Paige mencari-cari barang berharga yang bisa diselamatkan, Ray langsung menuju kandang ayam untuk membersihkannya agar istrinya tidak perlu bersedih melihat bangkai ternaknya.

Pepohonan di sekitar kandang itu tinggal arang. “Ternyata,” kata Ray kemudian. “Saat saya men­dekat, seekor ayam jago menjulurkan ke­pala­nya dan berkokok. Saya terperanjat. Hampir saja saya terjengkang.”

MENINGKATNYA KERUGIAN dan frekuensi ben­cana alam tidak dapat disalahkan sepenuhnya pada cuaca. Bencana juga meningkat karena makin banyak orang yang tinggal di tempat berbahaya. Di negara bagian seperti Texas, Arizona, dan California pembangunan pe­rumahan baru di bekas hutan menyebabkan tempat itu lebih rentan terhadap kebakaran hutan, sama seperti pembangunan pesisir yang menyebabkan hotel dan rumah pantai yang mahal rentan terhadap topan dan hurikan lainnya.

Pada saat bersamaan, pertumbuhan kota besar yang cepat di negara berkembang di Asia dan Afrika menjadikan jutaan orang lebih rentan terhadap gelombang panas dan banjir. “Ada yang salah,” kata ahli klimatologi Michael Oppenheimer dari Princeton Uni­ver­sity, yang membantu menulis laporan ter­baru mengenai cuaca ekstrem untuk Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). “Terus terang, kita tidak becus menghadapi bencana.”


Beberapa negara telah melakukan tindakan kecil tapi penting agar lebih siap menghadapi cuaca ekstrem. Gelombang panas yang luar biasa di Eropa tahun 2003 merenggut setidaknya 35.000 nyawa; analisis setelahnya mengungkap bahwa perubahan iklim melipatgandakan ke­mungkinan bencana tersebut. Setelah itu kota-kota Prancis mendirikan tempat perlindungan berpendingin dan mendata para lansia yang perlu transportasi ke tempat perlindungan. Ketika gelombang panas kembali melanda Prancis tahun 2006, jumlah korbannya dua pertiga lebih rendah.

Demikian pula, setelah hurikan tropis me­­newaskan 500.000 orang di Bangladesh tahun 1970, pemerintahnya mengembangkan sistem peringatan dini dan membangun tempat per­lindungan dasar dari beton bagi keluarga yang diungsikan. Sekarang, saat hurikan menerpa, jumlah korban jiwa di bawah sepuluh ribu.

Menurut Jay Gulledge, “Ketika dokter mem­­beri saran tentang cara menghindari se­rangan jantung, dia tidak berkata, ‘Anda perlu berolahraga, tetapi boleh terus me­rokok.’” Pendekatan cerdas terhadap cuaca ekstrem adalah mengatasi seluruh faktor risiko, dengan merancang tanaman yang tahan kekeringan, bangun­an yang dapat menahan banjir dan angin kencang, kebijakan yang mencegah orang membangun di tempat berbahaya—dan tentu saja, dengan memangkas emisi gas rumah kaca.

“Kita tahu bahwa pemanasan muka Bumi me­nyebabkan lebih banyak uap air yang ada di at­mos­fer. Kami telah mengukurnya. Satelit mem­per­lihatkannya,” ujar Gulledge. Jadi, kemungkinan akan terjadinya cuaca ekstrem pasti meningkat.

Kita harus menerima kenyataan, kata Oppen­­heimer, dan melakukan segala hal yang dapat menyelamatkan nyawa dan mengurangi kerugian. “Jangan menyerah pada nasib."

OLEH PETER MILLER





Baca Artikel Lainnya

1 comments:

Raden Silaban said...

brita"a terlalu bertele². orang pada ngantuk bacanya. klw yang kasih informsi yang simpel, dan teraktual ja gan, jangan beritanya ayam hilang, sampe di bahas sama kebun pak umar di bajak orang. oky gan.

Berlanggan Artikel

Enter your email address:

Download Software


Like This Page

Komentar